Thursday, March 29, 2012

Indahnya Bus Kota *halah...

Halo! Apa kabar? :D *klasik

Kuliah semakin sibuk, dan sebentar lagi sudah mau UTS. Perasaan baru aja Februari kemarin masuk ke semester dua. Semoga gue gak males belajar buat UTS nanti :p

Jadi hari Senin tanggal 26 Maret 2012, untuk pertama kalinya gue naik bus kota. HAHAHAHA :))). Rasanya nano-nano banget. Nah, gue mau berbagi sedikit pengalaman gue naik bus dari Jakarta ke Tangerang. Waktu udah menunjukkan pukul 3 sore lewat, pas gue memutuskan untuk balik ke Serpong setelah berkunjung ke Universitas di Jakarta. Tentu saja gue gak sendiri, gue belum senekat itu. Gue ditemani oleh dua kakak cantik yang memang sudah berpengalaman naik bus.

Di tengah teriknya matahari, kita nunggu bus di pinggir jalan. Dimana asap kendaraan, kepadatan kota tuh udah bener-bener bikin sumpek. Gak lama kemudian, bus yang kita tunggu itu datang, dan langsung saja kita naik ke dalam bus yang entah nomor berapa, gue udah lupa. Untung saja masih ada kursi sisa meskipun di bagian belakang. Akhirnya bus mulai jalan, dan gue merhatiin seorang bapak-bapak yang entah disebut apa, berjalan dari depan ke belakang buat ngumpulin duit. Gue tanya ke kakak yang duduk di sebelah gue, "Berapa ya, Kak?" Kakak itu menjawab, "Tiga ribu kayaknya." 

Dalam hati gue mikir, kok masih bisa segitu ya harganya? Transjakarta saja tiga ribu lima ratus. Ini kan dari Jakarta ke Tangerang, loh? Belum lama gue berpikir, Bapak yang ngumpulin duit itu sudah di depan gue. Dan gue sedikit takjub saat sang Bapak balikin lima ratus perak setelah gue bayar dengan uang tiga ribu rupiah. Tidak lama kemudian, bus pun akhirnya benar-benar jalan untuk memasuki tol. 

Sejujurnya gue cukup riang, merhatiin penumpang bus yang bervariasi. Seorang mas-mas yang duduk di samping gue terlihat kecapean. Begitu juga dengan ibu-ibu yang duduk di kursi agak depan. Bus pun kemudian melaju kencang, dan angin yang masuk dari jendela sekeliling bertiup kencang sampai-sampai gue mesti pegangin rambut gue. Lalu, ada seorang mas-mas yang berdiri di tengah-tengah dan mulai mengucapkan kata-kata seperti sedang berfirman. Gue berpikir, unik juga ya? Apakah ini merupakan bagian hiburan dari busnya? Tapi ternyata gue salah. Setelah Mas tersebut selesai ngomong, dia edarin kantong plastik bungkus IndoCafe dari depan sampai ke belakang. Logam lima ratusan yang gue pegang daritadi akhirnya gue masukin ke kantong itu. Setelah banyak terimakasih, Mas itu keluar dari bus dan diganti dengan seorang bapak-bapak berkumis.

Baru saja bapak itu masuk, ia sudah membagikan amplop kepada penumpang bus. Bapak yang duduk di samping gue terlihat mencoba tidur. Terus, gue cukup kaget ketika Bapak yang membagikan amplop itu bilang, "Yang enggak ngantuk, gak usah pura-pura tidur." sambil nyodorin amplopnya ke gue. Dia juga berulang-ulang mengatakan kalau ia tidak akan memaksa, dan hanya meminta keiklasan dari kita saja. Di depan amplop tersebut ada tulisan yang kurang lebih intinya tuh mengatakan kalau si Bapak butuh biaya buat sekolahin anaknya. Dimohon pengertian dan keiklasan dari kita. Tanpa pikir apakah Bapak tersebut berbohong atau enggak, gue langsung saja nyelipin dua ribuan ke dalam amplop itu. Gue gak peduli juga kalau memang si Bapak berbohong, itu urusannya nanti sama yang Kuasa. Setelah itu, sang Bapak itu mulai bernyanyi pakai kecrekan, yang jelas suaranya gak kedengeran.

Bus sempat mampir pom bensin, yang ada pemberhentian untuk istirahat. Banyak penumpang yang turun di sana, dan ada juga yang kemudian naik. Termasuk, mas-mas pengamen dengan gitarnya. Ketika bus kembali berjalan, mas-mas itu pun mulai bernyanyi. Berhubung bus sedang melaju kencang-kencangnya di tol, gak heran kalau suara mas-mas itu sama sekali gak kedengeran. Ibarat kayak suara lebah di kuping gue. Mesin busnya saja udah cukup kencang. Akhirnya gue selipin sebuah koin seribuan di kantong yang diedarin mas-mas itu. Yah, setidaknya dia berusaha untuk ngamen daripada nyopet.

Gue jadi berpikir, memang sih tarif bus hanya dua ribu lima ratus. Tapi 'pajak-pajak' tidak langsung ternyata cukup banyak. Gue tahu memang, kalo kita gak harus ngasih ke 'penyanyi' bus itu, tapi yahhh... Namanya juga pengalaman pertama :D

Kalo ditanya, apakah gue having fun? Yep, jelas gue seneng naik bus. Apalagi gue bisa melihat macam-macam orang. Tapi apakah lain kali mau naik bus lagi? Hmm... Masih dipikirkan :p Yang jelas, gue mau bilang kalau gak ada salahnya mencoba alat transportasi umum negara kita ini, meskipun memang terkadang banyak kendaraan yang sudah kurang layak untuk dioperasikan. Semoga ke depannya, pemerintah bisa lebih serius dalam menangani peroperasian kendaraan umum, jadi rakyat juga bisa lebih percaya buat naik kendaraan umum. Dan bukan tidak mungkin, angka kemacetan di ibukota bisa berkurang. :))



Jessica Chiu.
 

Wednesday, March 21, 2012

Tears Run Down My Face



Ada sebuah kisah yang gue dapat dari broadcast message bbm. Dan berapa kalipun gue baca, kisah ini gak pernah gagal bikin gue nangis terharu. Sebuah kisah untuk kita renungkan dan jadikan motivasi.


Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu ditangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"

Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus-menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.

Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku."

Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya, kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku, "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!" Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"

Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.." Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya.

"Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.

Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar. Ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"

"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sendoknya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.


 

Dan quotes yang gue dapat dari cerita mengharukan ini adalah,
"Apalah arti hidup kalau tidak bisa membahagiakan saudara dan keluarga kita?"

Tidak ada yang lebih penting dari keluarga. Percayalah... Hanya keluarga yang rela berkorban untuk diri kita. Love your family! <3






Jessica Chiu.
 

Friday, March 16, 2012

TV Station, Here We Come!


 Fifi, Celia, Me, Emily

Yuhuuu! Ini pertama kalinya gue dan temen-temen berkunjung ke stasiun TV. Jadi, hari Selasa tanggal 28 Februari 2012 yang lalu, UMN diundang untuk hadir dalam acara Bukan Empat Mata yang tentunya kita pasti udah tau siapa hostnya. Yep, si fenomenal Tukul Arwana yang terkenal dengan kata-kata 'kembali ke laptop'nya.

Kami memang tidak banyak berkeliling waktu itu. Ketika sedang menunggu waktu untuk syuting, tiba-tiba saja kami menangkap sesosok pria yang sangat berkharisma sedang diwawancara di The Coffee Bean. He's Choky Sitohang. Lucky us! Setelah Choky selesai wawancara, kami diberi kesempatan untuk foto bareng. :D He's such a handsome yet humble guy! *melting

>,<

Akhirnya tidak berapa lama setelah foto-foto, kami memasuki Stasiun 9 Trans TV untuk syuting Bukan Empat Mata dengan tema Take A Risk. Gue cukup seneng bisa melihat Tukul yang kocak itu secara langsung, meskipun gak dari dekat hehehe. Yang menjadi bintang tamunya adalah Nidji, Nadhila Ernesta, Vicky Zaenal, dan Tessy Kabul. Ini dia rekaman acaranya. :)



Terima kasih banyak Trans TV untuk undangan ini. Dan terima kasih juga Universitas Multimedia Nusantara untuk kesempatan yang diberikan. Kami akan sangat senang kalau di lain kesempatan, Trans TV maupun stasiun TV lainnya mengundang kami untuk berkunjung. :)))


 Ervina, Celia, Emily, Michelle, Me

 ;)

 \(^o^)/



Jessica Chiu.