UTS tinggal 3 hari lagi, dan gue bener-bener gak sabar pingin cepat-cepat selesai. Huahh! Rasanya deg-degan nungguin waktu buat ngerjain soal UTS nya.
Oh iya, barusan gue nemuin file Ms.Words tugas gue di semester satu. Tugasnya yaitu membuat cerpen (cerita pendek) dari pelajaran Creative Writing. Ada yang tertarik untuk baca? Hihihi... Jadi, ini dia cerpen gue dengan judul Wanita itu Mamaku yang dibikin entah tanggal berapa. Enjoy reading! :))
Jessica Chiu.
Oh iya, barusan gue nemuin file Ms.Words tugas gue di semester satu. Tugasnya yaitu membuat cerpen (cerita pendek) dari pelajaran Creative Writing. Ada yang tertarik untuk baca? Hihihi... Jadi, ini dia cerpen gue dengan judul Wanita itu Mamaku yang dibikin entah tanggal berapa. Enjoy reading! :))
Wanita Itu Mamaku
Jessica Chiu
Aku tak pernah berharap akan memiliki
mama baru. Tentu aku memikirkan perasaan papa, bagaimana ia membutuhkan sesosok
‘istri’ yang bisa menemani hidupnya. Tapi aku sungguh tidak rela papa menikah
dengan wanita itu selang enam bulan kepergian mama.
“Kirana!
Sebelah sini.” Seru seorang wanita, yang tak lain adalah ‘mama’ baruku.
Papa
ditugaskan ke Surabaya untuk waktu yang lama. Jadi, ia membeli sebuah rumah di
sana untuk keluarga baru kami. Aku yang baru saja menamatkan SMP ku di Jakarta,
sekarang harus melanjutkan SMA di Surabaya. Dan Tante Naomi, mama tiriku yang
menjemputku di bandara. Semoga saja aku mendapatkan teman yang cukup asyik
seperti teman-temanku di Jakarta.
Di
perjalanan, ia berusaha untuk mengajakku ngobrol. Ia menanyakan bagaimana Ujian
Akhir Nasional ku, bagaimana acara perpisahan dengan teman-temanku, dan bahkan
ia ingin melihat yearbook ku. Aku
hanya menjawab sekedarnya.
Mamaku,
maksudku mama kandungku, meninggal karena kanker serviks 6 bulan yang lalu.
Sebenarnya sudah lama penyakit ini ada di dalam tubuh mama. Itulah mengapa aku
tidak mempunyai adik, karena setelah melahirkanku, virus jahat itu menetap di
leher rahim mama. Segala macam pengobatan sudah dilakukan. Dan sebenarnya mama
sudah hampir sembuh dari penyakit yang mematikan itu. Tapi entah mengapa
setahun yang lalu, kanker yang pernah bersarang di tubuh mama kembali muncul
dan malah lebih parah.
Kata
dokter, kali ini memang sudah tidak bisa diobati lagi. Meskipun aku masih
kecil, aku cukup mengerti kalau kanker adalah penyakit yang tidak ada obatnya.
Dan benar saja, mama pergi tidak lama kemudian. Meskipun itu membuatku sangat
terpukul, aku lebih rela mama dipanggil Tuhan, karena ia tidak menderita lagi
sekarang ini, bukan? Tetapi, baru saja aku mulai bisa menerima keadaan bahwa
mama sudah tiada, tiba-tiba papa menikah dengan Tante Naomi. Segampang itu kah
mama tergantikan begitu saja?
Mobil
berhenti di depan sebuah rumah bertingkat dua. Rumah ini cukup besar, bergaya
minimalis dengan cat warna putih dan abu. Aku terpana.
“Kamu
suka rumah ini, Kirana?” Tanya Tante Naomi.
“Iya
Tante.” Kali ini aku menjawabnya dengan tersenyum. Tidak dapat kupungkiri lagi.
Pikiran-pikiran jelek tentang rumah yang kecil, kuno di Surabaya ternyata salah
besar.
“Di
sini kamar kamu.” Ucap Tante Naomi sambil membukakan pintu yang bertuliskan 'Kirana’s Room'.
“Kamu
beres-beres dulu, mama.. Eh, tante tinggal dulu.” Tante terlihat canggung. Ia
tahu bahwa aku tidak suka bila ia menganggap dirinya mama ku.
Aku
menghabiskan sisa hariku dengan membereskan barang-barang bawaanku. Senang
rasanya menghiasi kamar yang bagus ini dengan bingkai foto ku. Ada foto ketika
aku berumur 5 tahun yang diambil dari Dufan. Kata mama waktu itu aku hanya bisa
main kuda-kudaan saja, itu pun ditemani papa. Lalu ada foto kami bertiga, papa,
mama, dan aku yang diambil di Bali ketika aku duduk di kelas 2 SMP. Waktu itu
papa minta tolong kepada seorang bule untuk mengambil foto ini ketika matahari terbenam
di Kuta. Selanjutnya adalah frame kesukaan ku, dengan warna biru campur pink
bentuk hati. Di sana terlihat wajah mama yang berseri sambil memelukku. Kami
mengikuti lomba Mom & Child yang menguji sejauh mana kekompakkan ibu dan
anak di hari ibu. Tak terasa air mata ku pun menetes. Aku kangen mama.
Tok
tok tok... Tiba-tiba saja pintu kamarku diketuk.
“Kirana,
papa sudah pulang. Ayuk kita makan malam bersama.” Panggil Tante Naomi.
“Iya,
Tan.” Segera ku hapus air mataku. Satu-satunya orang yang ingin kulihat saat
ini adalah papa.
“Papa!!”
Seruku. Tanpa basa basi aku langsung memeluknya.
“Kirana!
Papa kangen sekali sama kamu. Gimana? Kamu suka rumahnya?” Papa membalas
pelukanku sambil mengelus kepalaku.
“Aku
suka, Pa. Rumah ini bagus. Tidak seperti yang kubayangkan.” Jawabku yang
langsung membuat papa tertawa.
“Hari
ini aku masak makanan kesukaan Kirana dan kamu.” Ucap tante sambil menuang air
putih. Papa memimpin doa sebelum mulai makan.
“Pa,
besok papa yang nganterin aku ke sekolah kan?”
“Oh
tidak bisa, Kira. Papa harus sampai di kantor jam 7 pagi.”
“Yah...
Anterin aku dulu baru ke kantor.” Pintaku memelas.
“Papa
tidak boleh telat.”
“Kalau
gitu siapa yang anterin Kira dong?” Aku kecewa dan mulai kesal. Besok kan hari
pertama ku.
“Mamamu
yang akan nganterin kamu.” Ucap papa ringan.
“Dia
bukan mamaku!” Tiba-tiba saja aku berseru seperti itu. Tante Naomi yang dari
tadi diam langsung menatapku. Terlihat sorot sedih di matanya.
“Kirana!
Minta maaf sama mama. Kamu tidak boleh kurang ajar!” Suara papa mulai meninggi.
“Mamaku
hanya ada satu. Hanya mama Farah untuk Kira!” Aku langsung meninggalkan meja
makan dan lari ke kamar. Aku marah, sedih dan kesal. Kenapa papa malah membela
Tante Naomi gitu sih? Papa gak ngerti apa kalau aku hanya mau perhatiannya. Aku
tidak peduli lagi pada panggilan papa yang menyuruhku kembali ke meja makan.
Tanpa
ku sadari, aku tertidur dalam tangisanku. Keesokkan pagi nya, aku pun berangkat
ke sekolah diantar oleh Tante Naomi.
“Kamu
jangan pikirin perkataan papa mu ya. Semalam dia hanya emosi saja.” Ucap Tante
Naomi lembut.
“Iya
tante. Aku... Aku minta maaf sudah kurang ajar sama tante.” Entah mengapa
kata-kata itu meluncur saja dari mulutku.
“Tidak
apa-apa, Kira.”
Mobil
pun sampai di depan pintu gerbang SMA Kalam Kudus. Aku segera berpamitan dan
masuk ke dalam sekolah.
Hari
cepat berlalu. Aku mendapat banyak teman. Pikiran kalau mereka semua katrok
ternyata salah besar. Teman-teman baruku gaul, meskipun kalau ngomong mereka
medok sekali.
“Kamu
dijemput ya, Kira?” Tanya teman baruku. Namanya Senna. Badannya mungil, kulit
putih dan mata belo.
“Iya,
itu di sana mobilku. Kamu mau ikut pulang?”
“Tidak
usah. Aku juga dijemput nanti. Eh itu mama mu?” Tanya Senna ketika kami sudah
dekat dengan mobil.
“Eh...
Iya.” Jawabku singkat.
“Halo,
Tante. Aku temannya Kirana. Namaku Senna.” Tanpa basa basi Senna langsung
menjabat tangan Tante Naomi yang langsung dibalas dengan senyuman.
“Hai
Senna. Akrab-akrab ya dengan Kira.”
“Iya,
Tante tentu saja. Eh kamu mirip sekali dengan mamamu.” Ucap Senna ringan dengan
nada ceria. Dia tidak pernah tahu, satu kalimat itu berhasil bikin aku salah
tingkah. Begitu juga dengan Tante Naomi yang langsung terdiam.
“Eh...
Terima kasih. Aku balik dulu ya. Sampai jumpa besok, Senna.”
Pandanganku
lurus ke jalan. Betapa canggungnya keadaan ini. Padahal sudah jelas Tante Naomi
adalah mama tiriku. Kok bisa-bisanya Senna bilang aku mirip dengannya. Tak lama
kemudian kami pun sampai di rumah.
“Bagaimana
hari pertama mu?”
“Seru, Tan. Teman-temannya baik. Guru-gurunya
juga asyik dan terlihat gaul.”
“Hahaha...
Tante yakin dalam beberapa hari pasti kamu betah tinggal di sini.”
“Semoga
saja. Tan, aku mau pergi beli bahan-bahan untuk MOS nih.” Dua hari lagi MOS
akan dilaksanakan. Kami, sebagai siswa baru harus menjalaninya dengan membawa
berbagai atribut yang sudah ditentukan oleh kakak panitia.
“Kamu
butuh apa saja memangnya? Nanti tante belikan, kamu beres-beres saja dulu.”
Sebagai seorang mama tiri, Tante Naomi sungguh perhatian. Aku tidak bisa
menangkap nada ‘kepura-puraan’ dalam suaranya.
“Aku
butuh karton putih, spidol, bola plastik, pita warna putih dan merah.”
“Kalau
pita tante punya. Kamu ambil saja di laci ketiga di kamar tante.”
“Oh,
oke.”
“Itu
saja yang kamu perlukan? Tante pergi beli sekarang ya.”
“Iya,
Tan. Sepertinya cukup itu saja. Ehm... Terimakasih ya, Tan.” Aku mengucapkan
kata ‘terima kasih’ dengan perasaan malu. Tidak biasanya aku mau terlibat dalam
percakapan seperti ini dengannya.
Aku
ingat apa yang harus ku lakukan. Segera aku menaiki tangga dan masuk ke kamar
Tante Naomi, mencari laci yang dimaksud olehnya. Dalam sekejap aku menemukan
pita yang kucari.
“Nah
ini dia!” Seru ku sambil mengangkat pita tersebut. Tiba-tiba sebuah kunci kecil
terjatuh keluar.
“Apa
ini?” Gumamku. Sepertinya ini kunci celengan? Atau diary, ya? Aku memasukkannya
kembali ke dalam laci. Tetapi sesuatu menangkap perhatianku.
Ku
lihat sebuah buku, seperti buku diary, berwarna coklat tua dengan hard cover
dan terkunci oleh gembok kecil. Rasa penasaranku mencuat. Tanpa mikir, aku
langsung memasukkan kunci kecil itu untuk membuka gemboknya. Dan gembok itu pun
terbuka. Aku deg-degan, tapi juga penasaran. Kubuka cover diary tersebut.
Buku
ini punya Tante Naomi. Ada foto ukuran 4R yang tertempel di halaman pertama.
Foto Tante Naomi ketika masih muda. Cantik sekali dirinya. Di bawah foto itu
ada tulisan tangan ‘Naomi Valentina’. Aku membalikkan halamannya dan mulai
membaca curahan hatinya.
Jakarta,
2 Agustus 1986
Diary,
aku senang sekali karena kuliah akan segera dimulai. Aku berteman dengan dua
orang yang ternyata satu kelompok dengan ku untuk OSPEK. Namanya Randy dan
Farah. Mereka tidak sombong loh. Bahkan Farah anak yang sangat aktif dan lucu.
Semoga pertemanan kami berlangsung selamanya.
Aku
terkejut dan tidak menyangka kalau papa dan mama sudah kenal dengan Tante Naomi
saat mereka kuliah.
Jakarta,
24 Desember 1986
Malam
ini aku menghabiskan malam natal bersama Randy. Seharusnya Farah ikut bersama
kami. Tapi tiba-tiba saja dia harus pulang ke Medan untuk acara keluarga. Kami
pergi makan malam di sebuah restoran all you can eat. Sehabis makan, Randy ajak
aku untuk karoke sampai malam. Lalu ia mengantarkanku ke rumah, waktu itu tepat
pukul 00.00. Tiba-tiba saja dia mengucapkan, “selamat hari natal!” sambil
mengacak-acak rambutku. Diary, aku deg-degan sekali. Apa aku suka sama dia?
Aku
sungguh terperangah, dan hanyut dalam tulisan-tulisan ini.
Jakarta,
14 Februari 1987
Fakultas
Ilmu Komunikasi membuat acara Valentine. Aku sungguh kaget melihat Farah datang
bersama Randy. Sedangkan aku terjebak bersama Steven yang bersikeras untuk menjemputku.
Acara ini sungguh romantis dan seru. Tau gak, Randy nembak Farah di depan kami
semua dan mereka resmi berpacaran hari ini. Hatiku sakit sekali. Aku sudah
menyukai Randy sejak malam natal itu. Diary, aku patah hati.
Terlihat
beberapa bekas tetesan air mata di kertas berwarna pink ini. Ya ampun...
Jakarta,
9 Maret 1987
Meskipun
patah hati, makin hari, rasa suka ku ke Randy semakin besar. Kenapa bisa
seperti ini? Oh iya diary, aku baru saja mendapat kabar yang mengejutkan dari
mama. Tiba-tiba saja aku akan dipindahkan untuk kuliah di luar negri bersama
tanteku. Mungkin ini jalan Tuhan untukku, supaya aku tidak melulu merasa sakit
hati.
Jakarta,
10 April 1987
Diary,
besok aku akan berangkat meninggalkan kota ini. Aku ketemuan dengan Farah, tapi
tidak dengan Randy. Farah memberikanku gelas dengan foto kami bertiga, aku,
dia, dan Randy. Aku tersenyum miris melihatnya. Aku kecewa tidak ada Randy di
sana. Tapi diary, ia tiba-tiba saja meneleponku tengah malam dan menyuruhku
untuk keluar. Ternyata dia sudah ada di depan rumah. Akhirnya kami duduk dalam
mobilnya dan berbincang-bincang. Randy bilang kalau dia akan mendoakan yang
terbaik untukku. Aku hanya tersenyum. Tapi tiba-tiba dia memelukku, dan bilang
kalau dia tidak rela aku pergi. Diary, aku sungguh kaget tadi. Jantung ku
berdegup kencang, apakah dia mendengarnya? Apakah dia sadar apa yang sedang ia
lakukan? “Aku suka sama kamu, Naomi. Setelah jadian sama Farah dan jauh sama
kamu, aku baru sadar kalau ternyata yang aku suka itu kamu. Aku merasa bodoh,
merelakanmu untuk Steven. Tapi sekarang semua sudah terlambat, kamu sudah mau
pergi dan aku punya Farah. Semoga kamu sukses di sana, Naomi.” Randy
menyelesaikan kata-katanya sambil mencium keningku.
Papa?
Papa menyukai Tante Naomi dari dulu?
Sydney,
23 Desember 1994
Halo
diary! Tak terasa sudah lama aku tidak curhat ke kamu yah. Sekarang aku sudah
bekerja di perusahaan Sim Card sebagai PR loh. Cita-cita ku akhirnya tercapai.
Besok aku akan balik ke Jakarta, dan mulai tahun depan aku akan berkerja di
kantor cabangnya. Jakarta, kota kenanganku. Apa kabar?
Jakarta,
15 Januari 1995
DIARY
! It’s so coincidence. Aku satu kantor dengan Randy! Tak kusangka balik dari Sydney,
orang pertama yang ku temui malah dia. Randy yang sekarang terlihat sangat
dewasa. Setelah pulang dari kantor, kami mampir ke sebuah kafe untuk ngobrol
dan berbagi cerita. Ternyata dia masih jadian dengan Farah, senang rasanya
mendengar kenyataan kalau hubungan mereka awet. Dia juga memujiku. Katanya aku
wanita karir yang sangat cantik. Tolong hentikan itu, Randy.
Jakarta,
18 Januari 1995
Hari
ini kami bertiga kumpul lagi. Farah, aku dan Randy. Yang mengejutkan aku adalah
ternyata mereka berdua sudah tunangan dan akan menikah beberapa bulan lagi. Aku
menyelamati mereka, dan dengan tulus mendoakan mereka. Aku melihat Randy mengecup
kening Farah di depanku. Ternyata, rasa sakit itu masih ada.
Aku menutup
mulutku. Cerita papa, mama, dan tante sungguh seperti novel.
Jakarta,
21 Februari 1995
Diary,
maafkan aku!! Semalam aku pergi ke sebuah bar. Sebenarnya aku hanya ingin minum
sedikit untuk refreshing. Pekerjaan semakin hari semakin berat. Tak kusangka
aku bertemu dengan dia, Randy. Sepertinya dia sudah minum banyak. Ketika
melihatku, ia langsung berseru dan memintaku untuk gabung dengannya. Tiba-tiba
saja dia bercerita kalau dia sedang tertekan. Orang tua Farah meminta agar
pernikahan mereka dipercepat, entah apa alasannya. Aku yang sudah minum banyak
samar-samar mendengar, “Naomi, sampai sekarang pun aku tetap memikirkanmu. Kau
tahu? Meskipun ada Farah depan mataku, kamulah yang selalu ada di hatiku. Lucu
bukan? Hahahaha... Naomi, bagaimana kalau kamu saja yang menikah denganku? Menjadi
istriku? Naomi...” Randy mabuk parah. Dengan sisa-sisa kesadaranku, aku
mengantarnya sampai ke rumah. Dan di sinilah kesalahanku diary. Seharusnya aku
meninggalkan Randy di bar. Tapi aku malah datang ke tempat ini. Tiba-tiba Randy
menarikku, “Naomi temani aku...” Dan semua itu pun terjadi.
Jakarta,
3 April 1995
Pernikahan
Randy dan Farah tinggal seminggu lagi. Dan aku sedih pada kenyataan kalau
benihnya tertanam di diriku. Hubungan satu malam yang menyisakan perih di hati
itu ternyata juga membuahkan seorang janin. Malam itu adalah malam terakhir aku
bertemu dengan dirinya karena tiba-tiba saja lelaki itu cuti dari kantor. Di
atas meja ku sekarang ada undangan pernikahan mereka. Apa yang harus kulakukan?
Jakarta,
10 April 1995
Aku
datang ke acara pernikahan mereka yang sederhana namun terlihat mewah. Baik dia
maupun Farah memelukku, dan aku benar-benar mengucapkan selamat. Sungguh
memalukan, mengapa bisa-bisanya aku pingsan di resepsi pernikahan mereka? Dan
berita soal aku hamil pun terdengar oleh Farah dan Randy. Farah bertanya dengan
polos, siapa ayah dari bayi ini. Tidak disangka Randy mengakuinya dengan suara
lantang. Farah langsung shock dan jatuh seketika. Kami berdua menangis bersama.
Aku tahu kebodohan ku, membiarkan semua itu terjadi. Dan aku yakin, Farah pasti
akan benci setengah mati padaku. Sahabatnya yang tega tidur dengan calon
suaminya, bahkan sekarang mengandung anak dari suaminya. Randy bersikeras untuk
bertanggung jawab. Tapi aku telah memikirkan secara matang, aku akan
membesarkan anak ini sendiri. Farah dan Randy harus memulai lembaran baru
mereka tanpa bayang-bayang diriku.
Jakarta,
19 September 1995
Kandunganku
sudah memasuki bulan ke-enam. Setelah insiden yang memalukan itu, aku berusaha
untuk menghindari kontak dengan mereka berdua. Aku sudah berkomitmen, aku tidak
akan meminta pertanggungjawaban dari Randy. Tapi hari ini, mereka berdua datang
menemuiku dengan membawa suatu berita yang mengejutkan. Farah terkena kanker
rahim stadium awal yang tidak memungkinkan dia untuk hamil. Mereka menyatakan
maksud kalau mereka menginginkan bayi yang ada di kandunganku. Awalnya aku
tidak mau. Tapi melihat Farah yang menangis tersedu-sedu bahkan berlutut
memohon kepadaku, akhirnya aku menyetujuinya. Dengan syarat, bayi ini harus
diberi nama Kirana. Kisah Randy dan Naomi.
Aku
langsung lemas seketika. Aku sungguh tak kuat berdiri, membaca tulisan yang
menguak misteri tentang diriku. Mata ini tidak tahan lagi membendung air
mataku. Dengan tangan gemetar, aku membalikkan halaman buku ini dan lanjut
membaca.
Jakarta,
13 Febuari 1996
Selamat
datang ke dunia yang penuh dengan kejutan ini, Kirana. Kamu sungguh cantik.
Semoga kamu menjadi anak yang patuh, dapat diandalkan dan hormat kepada
orangtua. Meskipun, mama hanya bisa menjadi tantemu. Mama sayang kamu dengan
sepenuh hatiku.
Aku terisak.
Tante Naomi? Mama kandungku? Mama...
Beberapa
lembar ke belakang dari diary ini menceritakan tentang bagaimana perasaan Tante
Naomi tentangku. Bagaimana ia senang sekali melihatku yang sudah bisa memanggil
mama ke Mama Farah. Bagaimana ia sedih melihatku jatuh di taman bermain, yang
bahkan aku sudah tidak ingat sama sekali. Ku lihat lembaran terakhir dari buku
harian ini.
Jakarta,
3 Mei 2011
Diary,
Farah meninggalkan kita semua setengah tahun yang lalu. Aku berharap Tuhan
menjaganya di sana. Sudah sebulan aku resmi menjadi istri Randy. Mungkin ini
sudah jalan hidupku, untuk bersama dengan dirinya. Meskipun Kirana sangat
terpukul dengan pernikahan ini, dan selalu memanggilku dengan Tante, aku tetap
berharap suatu hari nanti putriku akan memanggilku dengan sebutan Mama. Mama
sayang kamu, Kirana.
Tiba-tiba
terdengar suara bungkusan yang jatuh ke lantai. Ku lihat Tante Naomi berdiri di
depan pintu kamar sambil menutup mulutnya, terkejut dan tak menyangka. Aku yang
bergelinang air mata langsung lari dan memeluknya.
“Mama...”
Aku memeluknya erat. Memeluk tante yang
sebenarnya adalah mama kandungku.
***
Gue gak tahu kenapa bisa memilih tema ini untuk dijadikan cerpen. Yang pasti gue dapat inspirasi pas lagi mandi. Memang bener ya ternyata, kamar mandi itu sumber inspirasi. :D
Sedikit komen dari kalian buat cerpen amatir ini sangat berharga buat gue. Jadi, jangan ragu-ragu buat kasih komen, ya. Thanks a lot! :))
Jessica Chiu.
No comments:
Post a Comment