Sunday, August 26, 2012

Cerpen: Parfum


Parfum
Jessica Chiu



Siapa bilang hanya lagu yang dapat membangkitkan kenangan?

"Belum juga, Rin?" Melly datang menghampiri Karin dengan tangan yang penuh dengan kantong belanjaan.

Karin mengangkat bahu sambil melayangkan senyum simpul pada temannya itu. Sudah dua jam gadis itu mengelilingi beberapa konter parfum yang ada di Department Store salah satu pusat pembelanjaan di Jakarta, tapi belum ada satu pun wewangian yang menarik perhatiannya.

"Sebenarnya ada satu sih yang wanginya lumayan." Sahut Karin. Ia kemudian menawarkan diri untuk mengangkat belanjaan Melly yang kemudian ditolak dengan cepat.

"No! Elo cari aja dulu barang lo, baru entar bantuin gue. Ok?" 

Gadis berambut pendek itu hanya tersenyum mengiyakan. Mereka kemudian berjalan menuju konter yang lainnya setelah sebelumnya berterima kasih kepada SPG yang sudah bersabar melayani Karin. Wajah SPG itu sudah terlihat bosan dan sedikit kesal karena pada akhirnya Karin sama sekali tidak membeli. Padahal ia telah melakukan tugasnya dengan baik.

"Sebelumnya elo pake parfum apa memangnya?" Tanya Melly. 

"Punya si Paris Hilton."

"Kenapa enggak beli punya Hilton lagi?" Mereka kemudian berhenti di salah satu konter yang ada di paling pojok.

"Entahlah. Gue gak gitu demen ternyata." Melly hanya menggelengkan kepalanya. Temannya yang satu ini memang agak susah ditebak. Seleranya pun 'aneh'.

SPG konter Bvlgari menyapa mereka dengan ramah. Ia kemudian menyemprotkan produk terbaru mereka ke kertas kecil dan memberikannya kepada Melly. 

"Yang ini baru aja masuk kemarin. Wanginya seger loh, Kak." Ucap Mbak Ayu tersenyum manis.

"Eh iya, Rin. Coba deh cium." Karin mencium wangi menyengat yang dioper oleh Melly. 

Memang benar. Produk baru ini benar-benar wangi. Ada campuran wangi segar dan manis yang tercium ketika Melly kembali mengipas-ngipas kertas kecil berwarna putih itu.

Seperti sebelumnya, Karin kembali diam dan tampak berpikir sambil mencium kertas kecil lain yang diberikan oleh Mbak Ayu. Mbak yang satu ini tampaknya lebih sabar. Product knowledge nya pun ok banget. Tetapi entah mengapa, Karin seperti enggan membuat keputusan. Entah apa yang dicari gadis itu. Hampir dua puluh macam wewangian yang sudah ia cium, namun belum ada satupun yang ia inginkan. Kalau kata orang, makin banyak pilihan, makin kita bingung membuat keputusan. Tapi Karin sudah bertekad untuk membeli parfum baru hari ini karena yang sebelumnya sudah sama sekali tidak bersisa.

"Gimana, Rin? Suka?" Melly kembali bertanya.

"Wangi sih. Tapi..."

"Kalau elo masih bingung, coba pake punya gue aja, deh." 

"Ogah! Entar bau gue sama kayak elo, dong." Mereka berdua pun tertawa, termasuk Mbak Ayu.

"Kakak suka wangi yang seperti apa kalau saya boleh tau? Mungkin saya bisa coba cariin yang cocok buat Kakak." Mbak Ayu kembali tersenyum manis sampai-sampai Karin terpukau. 

Memang cocok nama dengan orangnya, pikir Karin. Wangi seperti apa sih yang ia suka sebenarnya? Karin sendiri juga tidak tahu. Ia bukan tipe pemilih dan repot. Ia juga bukan tipe orang yang tidak suka bereksperimen. Terakhir kalinya Karin membeli parfum tidak selama dan segalau ini. Sekali cium saja, ia langsung memilih parfum Paris Hilton yang memang wanginya sangat feminim. Tetapi ia tidak mendapatkan alasan untuk kembali menggunakan wewangian wanita cantik itu lagi. Ia merasa seperti ada yang kurang. Ia menyukai wangi dirinya, ketika ia menghabiskan waktu bersama...

"Rin, tuh ditanya Mbak nya." Melly mencolek lengan Karin, menyadarkan temannya kembali ke realitas.

"Eh.. Saya juga enggak tau, Mbak." Karin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tidak enak hati karena tidak menjawab pertanyaan wanita yang ayu itu.

Melirik jam tangannya sekilas, Karin terkejut karena jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Ia dan Melly sudah hampir seharian ada di Mall ini. Padahal mereka berdua sudah berjanji untuk nonton DVD sekembalinya dari mall kalau belum malam. Sepertinya bakal tidak jadi, Melly tidak boleh pulang lewat tengah malam.

Ia tahu bahwa ia harus membuat keputusan sekarang juga. Yang ini aja, Rin, pikirnya dalam hati. Ia juga tidak enak hati pada Melly karena seharusnya ia menemani Melly mencari kado untuk ulang tahun mamanya. Tapi ia malah menenggelamkan diri dalam kebingungan dua jam terakhir ini.

"Enggak dulu deh, Mbak. Makasih banyak, ya." Ucap Karin. Mbak Ayu hanya tersenyum memaklumi.

"Jadi gimana?" Melly melihat adanya perubahan pada wajah Karin.

"Yuk, gue udah tau mau beli yang apa." Karin menarik tangan Melly.

Mereka berdua sampai pada konter Dolce & Gabbana. 

"Light Blue ada?" Tanya Karin.

Sang SPG langsung mengambil tester dan memberikannya pada Karin. Tetapi Karin meminta produknya dan langsung membayar.

"Lo udah pernah pake ini, kan?" Tanya Melly.

"Iya." Karin memencet pin pada mesin debit kasir.

"Akhirnya balik lagi ke parfum yang satu ini. Memang lo tipe setia ya, Rin. Gak suka gonta-ganti." Melly tertawa renyah. Karin hanya tersenyum menanggapi.

Gue bukan tipe setia. Ternyata gue belum move on.

Hati Karin terasa ringan dan senang. Ia merasa telah membuat keputusan yang benar untuk membeli kembali parfum tersebut. Parfum yang dapat membangkitkan kenangan antara dirinya dengan Bob, laki-laki yang dulunya sempat menjadi bagian paling penting di hidupnya.

Sesampainya di rumah, Karin menyemprotkan parfum tersebut di pergelangan tangannya. Kemudian gadis itu membaringkan badannya di sofa dan menutup matanya sejenak. Beberapa potong memori berputar di benaknya. Seperti sebuah roll film yang menayangkan adegan hidupnya. Hidupnya bersama Bob yang berakhir satu tahun yang lalu. Kalau saja Bob tidak lebih mementingkan egonya sendiri, mungkin saja mereka masih bersama.

Adegan demi adegan yang berputar di pikiran Karin semakin terasa nyata. Tak terasa, setetes air mengalir turun dari matanya. Meskipun begitu, ia tersenyum lebar. Ia tidak sedih dengan akhirnya hubungan ia dengan Bob. Tetapi pada akhirnya ia menemukan cara yang lebih nyata untuk membangkitkan kembali kenangannya. Kenangan terindah dalam hidupnya.

Siapa bilang hanya lagu yang dapat membangkitkan kenangan? Perfume works better.



Jessica Chiu.

No comments:

Post a Comment